Sejarah Furnitur di Dunia: Dari Batu Purba hingga Sofa Minimalis
Pernahkah kamu duduk di kursi favorit lalu tiba-tiba bertanya: “Sebenarnya, sejak kapan manusia mulai kepikiran bikin kursi, meja, atau lemari?” Pertanyaan sederhana ini membawa kita ke sebuah perjalanan panjang perjalanan furnitur, dari sekadar bongkahan batu yang dipahat seadanya, sampai sofa empuk yang kita rebahan sekarang.
Furnitur bukan hanya benda pelengkap rumah. Ia adalah saksi bisu peradaban. Dari singgasana emas para raja, hingga kursi kayu sederhana di rumah rakyat jelata, furnitur selalu menjadi bagian dari cerita manusia: tentang fungsi, seni, status sosial, bahkan kepercayaan.
Artikel ini akan mengajak kamu melintasi waktu, menelusuri jejak furnitur dari era prasejarah hingga abad ke-21. Jangan bayangkan tulisan kaku penuh istilah arkeologi kita akan bercerita dengan gaya ringan, seperti sedang ngobrol santai sambil duduk di kursi goyang.
Era Awal: Neolitikum dan Zaman Prasejarah
![]() |
| Sumber: disd.edu |
Mari kita mundur jauh ke belakang, ke masa ketika manusia baru belajar bercocok tanam dan tinggal di permukiman permanen: Zaman Neolitikum.
Di Skara Brae, sebuah situs arkeologi di Skotlandia yang berusia lebih dari 5.000 tahun, para arkeolog menemukan lemari, meja, bahkan tempat tidur yang dibuat dari batu. Bentuknya sederhana, tanpa ornamen, tapi sudah jelas fungsinya: menyimpan barang, duduk, dan tidur. Bisa dibilang, inilah “furnitur IKEA” versi prasejarah praktis, apa adanya, tanpa ribet.
Bayangkan hidup di rumah dari batu, beralas tanah, dan tidur di dipan batu yang ditutup jerami. Tidak ada busa empuk, tidak ada kayu jati mahal. Tapi bagi mereka, itu adalah kemewahan: ada tempat beristirahat setelah seharian berburu dan bertani.
Yang menarik, meski sederhana, furnitur Neolitikum sudah menunjukkan satu hal penting: manusia selalu mencari cara untuk membuat hidup lebih nyaman. Dari sinilah kisah panjang furnitur dimulai.
Mesir Kuno (±3000–1000 SM)
![]() |
| Furnitur Pada Masa Mesir Kuno |
Kalau bicara sejarah furnitur, Mesir Kuno adalah salah satu bintang utamanya. Kenapa? Karena di sinilah furnitur bukan cuma alat, tapi juga simbol status sosial dan bahkan benda spiritual.
Bayangkan kamu seorang bangsawan Mesir ribuan tahun lalu. Kursi kamu bukan sekadar kursi. Ia mungkin terbuat dari kayu langka yang diimpor dari Lebanon, dihias dengan ukiran, dilapisi emas, bahkan ada sandaran tangan berbentuk kepala singa. Duduk di situ jelas berbeda rasanya bukan cuma nyaman, tapi juga menunjukkan ke orang lain: “Lihat, saya orang penting.”
Bukti paling terkenal bisa kita lihat di makam Firaun Tutankhamun. Ketika arkeolog Howard Carter menemukannya pada tahun 1922, mereka juga menemukan perabotan yang luar biasa detail: kursi lipat dengan kaki berbentuk kepala binatang, dipan elegan, dan peti kayu berlapis emas. Menariknya, desain kursi lipat itu masih terlihat keren hingga sekarang, seakan-akan time traveler dari dunia modern yang nyasar ke zaman piramida.
Furnitur Mesir juga punya fungsi spiritual. Peti dan lemari sering dipakai untuk menyimpan barang-barang yang diyakini akan berguna di akhirat. Jadi, furnitur bukan cuma menemani hidup sehari-hari, tapi juga menemani perjalanan setelah kematian.
Singkatnya: Mesir Kuno sudah berhasil membawa furnitur ke level “fashion statement”. Mereka adalah trendsetter awal dunia desain interior.
Yunani dan Romawi Kuno (±1000 SM–500 M)
![]() |
| Furnitur Pada Masa Yunani dan Romawi Kuno |
Kalau Mesir terkenal dengan furnitur megah, Yunani Kuno lebih fokus ke estetika bentuk. Salah satu desain legendaris mereka adalah kursi klismos: sandaran melengkung, kaki ramping yang sedikit melengkung keluar, simpel tapi elegan. Kalau kursi ini dijual di toko furnitur modern, mungkin laku keras.
Orang Yunani percaya furnitur harus indah dan harmonis, selaras dengan konsep seni dan arsitektur mereka. Kursi, meja, dan tempat tidur dibuat dengan proporsi yang pas, sering kali dihiasi detail halus.
Romawi kemudian “upgrade” konsep ini. Mereka suka furnitur besar dan nyaman, terutama sofa panjang yang disebut lectus. Di sinilah gaya hidup “makan sambil rebahan” lahir. Orang Romawi punya kebiasaan makan bersama di ruang perjamuan dengan posisi setengah berbaring di sofa, ditemani anggur dan musik. Kalau dipikir-pikir, mereka adalah pionir Netflix and chill—bedanya, tontonan mereka bukan film, tapi gladiator di arena.
Selain kayu, orang Romawi juga memakai perunggu, marmer, dan bahan mewah lain. Furnitur bukan hanya alat rumah tangga, tapi juga penegas gaya hidup glamor ala kekaisaran.
Abad Pertengahan (500–1400 M)
![]() |
| Furnitur Pada Masa Abad Pertengahan |
Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, furnitur Eropa mengalami “downgrade” besar-besaran. Kalau Romawi penuh gaya, abad pertengahan lebih ke arah fungsional dan tahan lama. Bayangkan furnitur dari kayu ek besar, tebal, dan berat. Ibarat kalau jatuh ketiban lemari zaman ini, kemungkinan besar bukan cuma kaki yang bengkak, tapi bisa langsung masuk IGD.
Furnitur di kastil dan biara cenderung minim kenyamanan. Kursi dibuat tinggi dan keras, seakan-akan bilang: “Duduk secukupnya saja, jangan santai-santai.” Tapi ada alasan logis: furnitur besar dan kokoh juga berfungsi sebagai perlindungan tambahan di kastil yang rawan diserang.
Selain itu, furnitur di masa ini juga simbol status. Petani cukup punya bangku kayu sederhana, sementara bangsawan duduk di kursi tinggi yang sering disebut “chair of estate”—cikal bakal kursi singgasana.
Singkatnya, furnitur abad pertengahan lebih ke arah “survival mode” ketimbang gaya hidup nyaman.
Renaissance (1400–1600 M)
![]() |
| Furnitur Pada Masa Renaissance |
Lalu datanglah Renaisans, masa ketika Eropa kembali jatuh cinta pada seni, ilmu pengetahuan, dan tentu saja desain. Furnitur ikut terkena dampaknya. Kalau di abad pertengahan furnitur terkesan kaku, pada masa Renaisans furnitur berubah jadi karya seni. Ukiran klasik, bentuk proporsional, dan detail artistik bermunculan di Italia, lalu menyebar ke seluruh Eropa. Lemari besar dengan ornamen, meja panjang dengan kaki berukir, hingga kursi dengan detail rumit mulai populer.
Di masa ini, furnitur tidak lagi sekadar alat, tapi juga pernyataan status sosial. Semakin rumit ukirannya, semakin tinggi gengsi pemiliknya.
Bayangkan seorang saudagar kaya di Firenze mengundang tamu ke rumahnya. Meja panjangnya penuh dengan pahatan dewa-dewi, kursinya dihiasi motif bunga klasik. Tanpa perlu berkata apa-apa, tamu sudah langsung tahu: “Oke, orang ini bukan orang sembarangan.”
Era Renaisans bisa dibilang mengembalikan furnitur ke panggung utama seni, setelah sekian lama tersembunyi di balik kastil dingin abad pertengahan.
Barok dan Rokoko (1600–1700)
![]() |
| Sumber: study.com |
Begitu Eropa masuk ke abad ke-17, furnitur jadi semakin “wah”. Gaya Barok lahir dengan ciri megah, dramatis, dan penuh ornamen. Kalau furnitur abad pertengahan itu polos, Barok justru kebalikannya: semuanya harus besar, berkilau, dan menonjolkan kekuasaan. Tidak heran, gaya ini populer di kalangan raja-raja Eropa.
Kursi Barok sering dihiasi ukiran hewan mitologi, dilapisi kain beludru, bahkan dipernis emas. Singkatnya: furnitur bukan sekadar tempat duduk, tapi juga panggung kemewahan.
Namun, sekitar pertengahan abad ke-18, muncul gaya baru: Rokoko. Kalau Barok itu ibarat jas tuxedo hitam yang formal dan gagah, Rokoko lebih mirip gaun pesta pastel penuh renda. Furniturnya lebih ringan, feminin, dengan garis melengkung indah. Kursi Louis XV dari Prancis adalah contoh paling ikonik: mungil, elegan, tapi tetap nyaman.
Kedua gaya ini menunjukkan bagaimana furnitur bukan cuma soal fungsi, tapi juga cerminan zaman: ketika kerajaan Eropa ingin menunjukkan kekayaan dan selera seni, mereka melakukannya lewat furnitur.
Era Victoria & Revolusi Industri (1800–1900)
![]() |
| Sumber: study.com |
Masuk abad ke-19, dunia berubah drastis. Revolusi Industri membuat furnitur bisa diproduksi massal dengan mesin. Artinya, tidak hanya bangsawan yang bisa punya meja atau kursi mewah—kelas menengah pun bisa ikut bergaya.
Di masa Era Victoria (masa pemerintahan Ratu Victoria di Inggris, 1837–1901), furnitur jadi lebih dekoratif dan detail. Ornamen ukiran, kain bermotif bunga, sofa besar, dan lemari penuh hiasan menjadi tren. Namun, banyak sejarawan desain bilang gaya ini agak “over the top” alias kebanyakan hiasan.
Humor sedikit: bayangkan sofa besar bergaya Victoria masuk ke ruang tamu rumah minimalis zaman sekarang—kemungkinan lebih mirip kayak lemari raksasa nyasar, ketimbang furnitur elegan.
Tapi, ada satu hal penting dari masa ini: furnitur jadi lebih demokratis. Mesin memungkinkan kursi, meja, atau lemari diproduksi cepat dan murah, sehingga semakin banyak orang bisa menikmatinya. Inilah titik balik furnitur dari barang elit menjadi bagian umum rumah tangga.
Abad ke-20: Modernisme
![]() |
| Sumber: signatureupholstery.co.uk |
Kalau abad-abad sebelumnya furnitur penuh ukiran, detail, dan ornamen, abad ke-20 datang dengan semangat baru: kesederhanaan. Revolusi desain modern dimulai dengan gerakan Bauhaus di Jerman pada tahun 1919, yang mengusung prinsip: “form follows function” alias bentuk mengikuti fungsi.
Furnitur modern ditandai dengan garis tegas, minim hiasan, tapi tetap elegan. Bahan baru mulai dipakai: baja, kaca, hingga plastik. Contoh ikoniknya adalah kursi Barcelona karya Mies van der Rohe (1929) dan kursi Eames Lounge (1956) yang sampai sekarang masih dianggap masterpiece.
Selain Bauhaus, ada juga gaya Art Deco dengan sentuhan glamor geometris, serta desain Skandinavia yang terkenal minimalis, fungsional, dan hangat dengan kayu alami. Kalau Anda pernah lihat desain IKEA, itulah hasil warisan Scandinavian design.
Humornya: bisa dibilang furnitur modern ini adalah “anti Barok” kalau Barok sibuk cari ukiran paling ribet, modernisme justru bilang: “Udah ah, jangan ribet, yang penting enak dipakai.”
Abad ke-21: Kontemporer dan Globalisasi
![]() |
| Sumber: id.made-in-china.com |
Masuk era sekarang, furnitur makin beragam dan fleksibel. Ada tiga tren besar yang menonjol:
-
Multi-fungsi & Hemat Ruang
-
Banyak orang tinggal di apartemen kecil → lahirlah furnitur yang bisa dilipat, ditarik, atau berubah bentuk. Misalnya: sofa yang bisa jadi tempat tidur, meja kerja yang bisa dilipat ke dinding.
-
-
Ramah Lingkungan
-
Kesadaran akan keberlanjutan membuat banyak desainer memakai material daur ulang, bambu, atau kayu bersertifikat eco-friendly. Furnitur bukan hanya soal gaya, tapi juga tanggung jawab pada bumi.
-
-
Globalisasi Gaya
-
Desain furnitur sekarang campur aduk. Ada sentuhan Jepang minimalis, sentuhan Skandinavia, hingga inspirasi etnik Afrika. Dunia terasa tanpa batas—apa yang dulu hanya milik satu budaya, kini bisa hadir di ruang tamu siapa saja.
-
Fenomena IKEA juga tidak bisa diabaikan. Brand asal Swedia ini membuat furnitur bergaya modern, simpel, dan terjangkau bisa masuk ke rumah jutaan orang di seluruh dunia. Ditambah lagi tren DIY (Do It Yourself) membuat orang bisa merasa lebih “punya” furnitur mereka sendiri.
Singkatnya, furnitur di abad ke-21 tidak lagi hanya bicara soal fungsi atau gaya, tapi juga identitas, nilai, dan keberlanjutan.
Kesimpulan
Sejarah furnitur adalah sejarah manusia itu sendiri. Dari batu sederhana di Zaman Neolitikum, singgasana emas Firaun, kursi klismos Yunani, sofa Romawi, lemari Renaisans, sofa megah Victoria, hingga kursi minimalis IKEA semuanya mencerminkan kebutuhan, budaya, dan gaya hidup di setiap era.
Kalau dipikir-pikir, furnitur itu seperti cermin: ia menunjukkan siapa kita, apa yang kita butuhkan, dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Dan mungkin, seribu tahun lagi, kursi gaming atau meja kerja ergonomis yang kita gunakan sekarang akan jadi “artefak berharga” yang bikin arkeolog masa depan berdecak kagum.
Jadi, lain kali saat Anda duduk di kursi favorit, ingatlah: Anda sebenarnya sedang melanjutkan tradisi panjang manusia yang sudah berlangsung ribuan tahun. Dari batu ke busa empuk, dari emas ke plastik daur ulang—furnitur akan selalu berkembang, sama seperti kita.









Post a Comment for "Sejarah Furnitur di Dunia: Dari Batu Purba hingga Sofa Minimalis"